Selasa, Juli 28, 2009

Ganyang Mafia Peradilan!

Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung menandatangani kerjasama. Dua lembaga itu sepakat untuk mengganyang adanya mafia peradilan.

Kesepakatan yang ditandatangani oleh Ketua MA Harifin A Tumpa dan Jaksa Agung Hendarman Supandji itu terjadi 16 Juli lalu. Isinya, agar hakim dan jaksa tertib dalam menangani perkara pidana.
Kerjasama itu juga bertujuan untuk meningkatkan bagian pengawasan kedua lembaga ini. Kerjasama ini berisi tentang pengawasan bersama meningkatkan koordinasi penanganan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara. Selain itu, akan ada pemeriksaan bersama-sama pada oknum jaksa dan hakim yang menyimpang.
Diungkapkan Ketua MA Harifin Andi Tumpa, selama ini memang masih ada kolusi antara hakim dan jaksa dalam menyelenggarakan persidanagan. Dia mengatakan Mahkamah telah mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kecurangan jajaran peradilan di bawahnya.
"Iya yang jelas ada (kolusi). Itu berdasarkan pengaduan dari masyarakat," kata Harifin A. Tumpa usai penandatanganan kesepakatan.
Harifin mengatakan laporan-laporan masyarakat tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Namun, lanjut dia, laporan tersebut merupakan indikasi yang harus ditindaklanjuti dengan serius. "Daripada berkembang lebih banyak dan semakin sulit memberantasnya, lebih baik kita mencegahnya," ujarnya.
Dia berharap dengan adanya penandatanganan kesepakatan ini, kolusi yang dapat merugikan pencari keadilan tersebut dapat dihilangkan. Langkah ini, lanjut dia, merupakan tonggak sejarah untuk meningkatkan sinergi antara MA dan kejaksaan. "Untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme," jelasnya.
Menurut Harifin kerjasama pengawasan ini akan membawa nuansa baru bagi hakim dan jaksa. Dengan pengawasan bersama diharapkan tidak ada lagi kecurangan dalam persidangan yang dilakukan hakim dan jaksa yang merugikan pencari keadilan. "Agar tidak ada lagi kong kalikong antara hakim dan jaksa," ujarnya.

Ikrar Jaksa
Tanggal 13 Juli sebelumnya, sebanyak seribu jaksa mengucapkan janji setia terhadap profesi. Jaksa Agung Hendarman Supandji berharap janji iu tidak hanya diucapkan saja. Tapi juga harus dilaksanakan. "Ikrar ini tidak hanya dilafalkan, tapi jadi obor penerang nurani," kata Hendarman. 
Pembacaan ikrar jaksa ini dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Setia Untung Arimuladi. Ada tiga poin yang dijanjikan jaksa, yakni menegakkan hukum secara profesional, berani, dan tegas. Korps Adhyaksa ini juga berjanji setia terhadap profesi dan berdisiplin. 
Hendarman menyatakan ikrar yang diucapkan anak buahnya itu begitu menggetarkan kalbu. Hendarman mengatakan sebagai pimpinan tertinggi dirinya patut bersyukur. "Apresiasi terhadap gagasan atau ide dalam suasana seperti ini," ujarnya.
Menurut Hendarman, ada beberapa hal yang hars diperbaiki oleh jaksa. Setiap jaksa, lanjut Hendarman, harus mengubah sikap masa bodoh. "Jaksa juga harus bisa menerangi jalan agar tidak terantuk batu," ujarnya.

Usai diucapkan ikrar ini, Hendarman berharap jumlah jaksa nakal dapat berkurang. Meski demikian adanya ikrar tersebut tidak berpengaruh terhadap sanksi disiplin yang dijatuhkan. "Tetap mengacu pada PP 30 tahun 1980," jelasnya.

Jual Beli Perkara
Mantan Hakim Agung, Laica Marzuki, mengungkapkan praktik jual beli perkara masih sering terjadi di Mahkamah Agung. Praktik ini menjadi sebuah bentuk mafia peradilan.
"Ini adalah kumpulan orang-orang sakit dan nakal. Tidak hanya hakimnya, tapi juga jaksanya," kata Laica.
Laica menjelaskan, seharusnya hukum dan keadilan tidak boleh diintervensi. Peran hakim diperlukan untuk menjaga kemurnian hukum ini. "Tapi kalau hakim bisa dibeli, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Karena hakim menjadi produk dari masyarakat yang sakit," ujarnya.
Menurut Laica, praktik tersebut lahir karena kurang efektifnya mekanisme pengawasan internal di MA. "Di negara lain, internal control ini sangat efektif, tapi di Indonesia tidak efektif," ujar mantan Hakim Konstitusi ini.
Untuk itu, lanjut Laica, pengawasan di MA harus ditambah dari pihak luar. Seperti dari Komisi Yudisial dan DPR. "External control ini harus makin diperkuat karena ada masalah tambahan yakni korupsi yang merajalela di tingkat peradilan," jelasnya. (8) simon leo siahaan, sofyan hadi


Anti Pungli di LP

Tak ingin ketinggalan dengan kehakiman dan kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan juga berjanji akan memberantas pungutan liar. Prioritas pertama yang akan diubah adalah layanan kunjungan. 
Menurut Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiyono, prioritas dilakukan di pelayanan kunjungan merupakan pintu terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Ditargetkan pada Desember nanti pelayanan LP yang baru sudah dapat terlaksana, sehingga dapat dilakukan evaluasi.
Cara yang dilakukan adalah melakukan penilaian kepada pegawai siapa yang cocok melakukan pelayanan, pelatihan pegawai. Hal ini dilakukan untuk mengubah prilaku petugas pemasyarakatan terutama terkait dengan pelayanan kunjungan.
Selain itu pembenahan dilakukan dengan prosedur yang lebih singkat, pengunaan teknologi informasi, pengurangan hubungan face to face, menentukan batasan waktu pengurusan layanan dan menegaskan tidak ada besaran biaya.
Selama ini masih adanya pungli karena beban yang dihadapi petugas luar biasa berat. Untuk itu, sesudah melakukan reformasi birokrasi, diharapkan renumerasi pegawai dapat diajukan. 
"Untuk mengelola orang untuk 1.500, namun yang terisi 3.500, sarana dan prasaran kurang. Ini yang menyebabkan munculnya gangguan keamanan, kelambatan dalam pelayanan tidak menutup kemungkinan, pungli, pemerasan," kata Sugiyono.

Reformasi yang dilakukan Ditjen Pemasyarakatan itu berdasarkan survey Integritas yang dilakukan KPK. Menurut Direktur Litbang KPK Doni Muhardiyansyah, penyuapan dilakukan oleh napi, mantan napi, dan keluarga napi jika mau melakukan kunjungan memberi uang.
Pelayanan di Lembaga Pemasyarakatan tidak ditanggung biaya. Sehingga jika terdapat pemberian, maka dianggap suap. Ironisnya pengguna LP menganggap hal itu wajar-wajar saja. (8) simon leo siahaan

0 komentar:

Posting Komentar