Selasa, Juli 28, 2009

Alotnya Mengeksekusi DL Sitorus

Aparat hukum sudah diubun-ubun untuk segera mengeksekusi lahan milik terpidana korupsi kehutanan, Darianus Lungguk Sitorus. Eksekusi lahan seluas 47 ribu hektar ini selalu gagal sejak tiga tahun lalu.

Mahkamah Agung (MA) telah menolak permohoan Peninjauan Kembali (PK) Direktur Utama PT Torganda. Darianus Lungguk (DL) Sitorus Sitorus tetap divonis delapan tahun penjara atau sesuai dengan putusan kasasi.
DL Sitorus juga terbukti menyalahgunakan wewenang pengelolaan kawasan hutan Register 40 di Padang Lawas, Sumatera Utara. Selain pidana kurungan, MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa denda Rp 5 miliar subsider enam bulan kurungan.
Itulah sebab, Kejaksaan Agung dan Departemen Kehutanan sudah sepakat segera mengeksekusi lahan milik terpidana korupsi kehutanan, DL Sitorus. Eksekusi lahan seluas 47 ribu hektar ini selalu gagal sejak tiga tahun lalu. "Dulu selalu gagal karena situasi di lapangan selalu tidak kondusif," kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, Jumat (24/7). 
Sehari sebelumnya, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban, dan perwakilan daeri kepolisian, serta Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, membahas upaya eksekusi tersebut.
Hendarman menjelaskan, lahan milik DL Sitorus itu sebenarnya sudah dieksekusi secara formil. Eksekusi itu dilakukan di Kejaksaan Negeri Padang Sidempuan. Saat ini, lanjut Hendarman, kejaksaan berupaya untuk mengeksekusi lahan secara materiil. "Kalau didiamkan tidak baik juga, karena keuangan negara berpotensi hilang. Targetnya secepatnya," ujarnya.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Marwan Effendy mengatakan, Kejaksaan Agung akan memberikan tenggat waktu pada perusahaan yang masih mengelola lahan di Padang Lawas Sumatera Utara. Lahan itu akan segera dieksekusi pasca ditolaknya peninjauan kembali DL Sitorus dalam kasus penyalahgunaan kawasan hutan Register 40 di Padang Lawas. Dua perusahaan yang masih mengelola lahan itu adalah KPKS Bukit Harapan dan PT Torganda. DL Sitorus merupakan bos PT Torganda.
"Kejaksaan dan Menteri Keuangan akan mensomasi mereka. Kami akan berikan tenggat waktu kapan mereka harus keluar (dari lahan itu)," kata Marwan Effendy.
Marwan juga menegaskan masyarakat tidak akan dirugikan pasca eksekusi lahan seluas 47.000 hektar itu. "Hak masyarakat tidak terganggu, ini hanya pengalihan manajemen saja," pungkas Marwan.

Fakta Hukum

Secara hukum, D.L.Sitorus menduduki/menguasai hutan Negara kawasan hutan produksi Padang Lawas yang berada di kecamatan Simangambat Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara seluas ± 80.000 Ha tanpa ijin dari Menteri Kehutanan. Pada mulanya terdakwa bersama dengan tokoh masyarakat setempat tanpa dasar hukum telah menyatakan bahwa kawasan padang lawas seluas 80.000 Ha di kawasan kecamatan Simangambat merupakan tanah ulayat marga Hasibuan Luhat Ujung Batu. 

Tanah yang diakui sebagai tanah ulayat tersebut kemudian diserahkan kepada terdakwa dengan cara ganti rugi/pago-pago sejumlah uang. Penyerahan tersebut didalilkan bertujuan untuk memajukan usaha perkebunan/pembudidayaan kelapa sawit serta untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Padahal penyerahan kawasan Hutan Negara kawasan Hutan Produksi Padang Lawas seluas ± 80.000 Ha tersebut adalah untuk kepentingan usaha perkebunan kelapa sawit milik terdakwa Darianus Lungguk Sitorus atau kepentingan usaha perkebunan PT.Torganda milik terdakwa
Lahan yang telah dikuasai tersebut kemudian oleh terdakwa dikerjakan (dirubah fungsi dan peruntukan menjadi areal perkebunan kelapa sawit).Terdakwa membentuk dan mendirikan Koperasi Perkebunan kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan dengan maksud untuk mempermudah pelaksanaan pekerjaan. 
Terdakwa menyediakan beberapa alat-alat untuk menggarap kawasan hutan tersebut. Alat-alat ini berupa Graider untuk membuat jalan, chainsaw untuk memotong tegakan dan menyediakan peralatan-peralatan lain yang diperlukan. 
Tindakan terdakwa tersebut telah menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara kawasan hutan produksi seluas ± 12.000 Ha dan menyebabkan hilangnya tegakan jenis kayu meranti. Selain itu tindakan terdakwa juga menimbulkan hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) serta menimbulkan kerugian Rehabilitasi yang harus ditanggung oleh pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI. 

Belum Optimal

Upaya penanganan kasus pidana illegal logging yang dilakukan pemerintah selama ini belum menampakan hasil yang optimal. Ketidak-optimalan ini terlihat dari penanganan kasus pidana illegal logging selama tahun 2005 - 2008. Dari 205 Putusan, hanya 17,24% putusan yang berhasil menghadirkan pelaku utama (mastermind) ke meja hijau. Sementara itu sebanyak 137 (66,83%) putusan dinyatakan bebas murni, 44 (21,46%) putusan menjatuhkan vonis kurang dari 1 tahun, 14 (6,83%) putusan menjatuhkan vonis 1-2 tahun, dan 10 (4,88%) putusan menjatuhkan vonis lebih dari 2 tahun. Fakta tersebut menandakan bahwa Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai perangkat hukum dalam pengelolahan kehutanan masih memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain ancaman hukuman yang terdapat dalam UU Kehutanan belum mampu menimbulkan efek jera ( deterrence effect) bagi pelakunya maupun bagi publik.

Salah satu faktor yang memperlemah adalah karena masih ada celah yang terdapat di dalam Undang-undang kehutanan tersebut. Sehingga seringkali undang-undang kehutanan hanya dapat menjerat pelaku lapangan dari aktifitas illegal logging. Diperlukan upaya yang tersistematis dan terstruktur yang dapat menutup celah tersebut sehingga dapat menggiring pelaku utama (mastermind) illegal logging ke muka persidangan serta memberikan efek jera. 
 Salah satu upaya dalam menutup celah undang-undang tersebut adalah penegakan hukum dengan menggunakan pendekatan beberapa undang-undang atau pendekatan multidisiplin . Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan jangakauan yang lebih luas dari yang dimiliki oleh undang-undang kehutanan. Untuk saat ini peraturan perundang-undangan yang paling memungkinkan adalah perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, bidang korupsi dan pencucian uang. Hal tersebut mengingat kegiatan illegal logging berkaitan dengan kerusakan lingkungan, suap, korupsi, perputaran uang dan sangat terorganisir. (8) simon leo siahaan


Satu Pesawat Dengan Menhut

Beberapa waktu lalu, Menteri Kehutanan MS Kaban sempat terkejut, karena mendengar kabat DL Sitorus bisa keluar dari tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cirebon, Jawa Barat. Tak tanggung-tanggung, terpidana delapan tahun itu bahkan duduk dalam satu pesawat dengan MS Kaban yang terbang dari Medan ke Jakarta pada bulan Mei lalu.
Menurut Menhut, saat itu DL Sitorus tanpa pengawalan, berada di kelas bisnis dengan nomor tempat duduk 1-A, sedangkan Menhut MS Kaban duduk di kursi 1-F di kelas yang sama. 
Sontak, anggota DPR berang dan mengusulkan ada tim yang melakukan investigasi terhadap masalah tersebut, sehingga penindakan tidak hanya sampai tingkat Kepala Lapas tetapi menyentuh yang lebih atas lagi DPR menilai, kenyataan tersebut bukan permainan tingkat pegawai-pegawai kecil, tetapi tingkat tinggi.
DPR pun menganggap DL Sitorus luar biasa. Karena, kalau sampai seorang menteri yang politikus ulung bisa kalah dengan Sitorus, maka harus dimilik resep yang luar biasa menangani dan mengatasinya.
Tak cuma itu, padahal setiap tiga bulan sekali DL Sitorus dipindahkan dan sudah tiga kali pindah tempat dari Bekasi, Subang, Cirebon. Artinya, sebelum petugas tergoda, terpidana sudah dipindahkan terlebih dulu. Pertanyaanya, kenapa DL Sitorus tidak dipindahkan ke Nusakambangan? (8) simon leo siahaan

0 komentar:

Posting Komentar