Rabu, Mei 13, 2009

Nasib Wartawan Korban Kekerasan

LAPORAN, Selasa, 2008 Juli 29

Walau sudah ada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetap saja nasib wartawan seakan sulit terhindar dari risiko kekerasan. Inilah kisah seorang WNA Korea yang memukuli seorang wartawan tanpa ampun.

Kehidupan seorang pemburu berita yang kerap dibayangi bahaya kekerasan tak terbantahkan. Terkadang, profesi yang satu ini harus siap berhadapan dengan dunia premanisme yang berakhir penganiayaan. Sudah tidak aneh, bila terjadi tindakan pemukulan, penculikan, perampokan bahkan pembunuhan dalam keseharian tugasnya.

Sedihnya lagi, bukan hanya warga negara Indonesia saja yang berani melakukan tindakan kekerasan terhadap wartawan. Tetapi, warga negara asing (WNA) telah ikut-ikutan mencontoh budaya buruk tersebut. terbukti, Choy Soo Jin, WNA asal Korea, serta merta menganiaya Afri Sonny (34), wartawan stasiun televisi Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang bertugas di Bekasi.

Ikhwal tindak kekerasan yang dilakukan Mr Choy Soo terhadap Sonny terjadi di tempat hiburan karaoke pub berlabel “22”, yang lokasinya berada di jalan Raya Alternatif Cibubur, Kelurahan Kranggan, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, Minggu (20/7) tengah malam. Saat itu, Sonny yang baru saja keluar dari toilet tiba-tiba ditendang keras oleh Mr Choy. Tak cukup itu, Mr Choy juga menarik kerah baju Sonny yang sedang terjerembab jatuh ke lantai. Bagaikan gelap mata, Mr Choy yang memegang erat tangan kiri Sonny kemudian meninju berkali-jali bagian belakang tubuh wartawan elektronik itu.

Aksi kekarasan Mr Choy berlangsung sekitar sepuluh menit setelah rekan-rekan Sonny melerainya. Anehnya, belum lagi urusan beres, Mr Choy malah kabur meninggalkan Sonny bagaikan pesakitan. Sungguh perbuatan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh seorang WNA asal Korea.

Sonny sendiri tak habis pikir mengapa menjadi korban tindak kekerasan. Pasalnya, kehadirannya di tempat hiburan malam itu terkait dengan pekerjaannya, meliput operasi nakotika dan obat-obatan (narkoba) yang dilakukan tim gabungan Badan Narkotika Kota (BNK) Bekasi, Kepolisian Resort Metropolitan Bekasi, Satuan Polisi Pamong Praja, Komando Militer 0507, dan Polisi Militer Bekasi.

Rekan-rekan Sonny juga bertanya-tanya, mengapa ada WNA yang menjadi beringas ketika melihat kehadiran wartawan yang sedang bertugas? Demikian pengakuan Awang Darmawan, wartawan Indosiardan kameramen Trans TV Lukman, yang menjadi saksi Sonny ketika dipukul dan ditendang oleh Mr Choy.

Wartawan mengutuk

Tak ingin kasus serupa terjadi di tempat lain, wartawan yang tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Bekasi kemudian melakukan aksi keprihatinan. Mereka mengutuk tindak kekerasan yang pada wartawan RCTI Afri Sonny. Mereka juga mendesak polisi mengambil tindakan hukum terhadap pelaku penganiayaan, Choy Soo Jin. "Kami minta polisi memberikan sanksi tegas," kata Mohabar, wartawan SCTV.

Keprihatinan serupa disampaikan Ali Anwar, wartawan Koran Tempo, yang mengingatkan seluruh lapisan masyarakat supaya mengawal proses hukum terhadap Choy Soojin. "Jangan sampai bebas," katanya.

Pernyataan senada diserukan Denny Bratha, wartawan Pikiran Rakyat, yang menyatakan pemukulan yang dilakukan Choi Soojin tidak bisa dibenarkan. "Apapun alasannya, tindakan itu salah," katanya.

Para wartawan media cetak dan elektronik (televisi dan radio) di Bekasi itu berkumpul di depan Islamic Center, Jalan Achmad Yani, Kota Bekasi. Mereka sepakat akan mengirim surat ke Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Metropolitan Bekasi Komisaris Besar (Kombes) Masguntur Laope, yang isinya meminta sanksi tegas untuk perlakuan tidak terpuji Choy Soo Jin.

“Perbuatan yang dilakukan tersangka Choy Soo Jin, bukan saja melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melainkan juga telah melanggar UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers,” kata Drs Rivai Zakaria SH dari kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Rivai Zakaria, Syahrir Siregar dan Rekan.

Menurutnya, di dalam pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan disebutkan, penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (ayat 1). Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (ayat 2). Sedangkan jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun tertuang dalam ayat 3. “Jadi, tuntutan Pokja Wartawan Bekasi kepada aparat penegak hukum agar menindak pelaku cukup beralasan. Pasalnya, tindak kekerasan yang terjadi pada wartawan RCTI Afri Sonny yang dilakukan Choy Soo Jin bisa dikenai pidana pasal 18 UU No.40/1999 tentang Pers,” imbuh Rivai.

Divonis 3 bulan

Aksi sok kuat Mr Choy terhadap wartawan di Karaoke pub “22” ternyata berakhir di kantor polisi. Setelah sempat buron, WNA asal Korea itu kemudian digelandang ke markas polisi resor Bekasi dengan sangkaan melakukan tindak pidana kekerasan. Usai diberkas, polisi kemudian melimpahkan kasus tersebut ke kejaksaan.

Setelah cukup bukti, Jumat (25/7), Pengadilan Negeri (PN) Bekasi, Jumat, memvonis Choi Soo Jin (39) tiga bulan penjara.

Terdakwa dijerat pasal 352 KUHP tentang tindak pidana ringan, karena pada tubuh korban tidak ditemukan luka bekas penganiayaan sesuai hasil visum dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bekasi. "Karena pada tubuh korban tidak ditemukan luka berat, sehingga terdakwa hanya dijerat pasal 352 KUHP tentang tindak pidana ringan," kata Hakim Ketua PN Bekasi, Suhartoyo.

Sementara itu, Choi Soo Jin dalam persidangan membantah melakukan penganiayaan atau pemukulan terhadap wartawan RCTI tersebut saat meliput razia narkoba di karaoke and Pub 22 di jalan arteri, Cibubur, Kecamatan Jatisampurna, Bekasi.

Warga negara Korea Selatan tersebut hanya mengaku dalam keadaan mabuk mendorong Afri Sony, sehingga tidak mengetahui secara pasti apakah memukul atau menendang wartawan yang biasa meliput di Bekasi itu. Namun, terdakwa menyatakan menerima putusan hakim ketua PN Bekasi yang memvonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

Kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan WNA asal Korea Mr Choy menambah daftar panjang nasib wartawan ketika sedang bertugas. Kasus terbunuhnya Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta di masa Orde Baru merupakan salah satu contoh risiko terberat yang dihadapi wartawan di negerinya sendiri. Sampai saat ini kasus tersebut tetap gelap. Pada Agustus 2005 kasus yang hampir serupa dengan Udin juga menimpa wartawan ''Berita Sore" Medan , Elyudin Telaumbanua yang tengah melakukan liputan pilkada di Kabupaten Nias Selatan.

Menurut pemerhati hukum Christian P. Tambunan, SH, menyaksikan sederet kasus kekerasan tersebut, sudah waktunya dibangun satu sistem yang memungkinkan wartawan bisa menjalankan profesinya secara maksimal. Risiko yang dihadapi wartawan adalah risiko bagi keluarganya dan sekaligus bagi masyarakat luas.

Christian menambahkan, hilangnya seorang wartawan yang tengah mengabdi pada tugasnya mengandung arti hilangnya kesempatan bagi masyarakat untuk melihat dunia dengan benar. Berkat kerja wartawan, tanpa disadari pengetahuan umat manusia terus bertambah. Harus diakui, dalam kondisi riil di lapangan, masih banyak wartawan yang belum memenuhi standar profesi.

Oleh karena itu menjadi kewajiban tiap-tiap lembaga media atau organisasi-organisasi kewartawanan untuk memberikan pelatihan memadai agar para wartawan yang menjadi anggotanya terus berkembang sesuai dengan tuntutan profesi mereka. Namun, yang terpenting dan terasa mendesak, tentu saja yang terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan terhadap wartawan. Sedangkan, lanjut Christian, masyarakat dan aparat penegak hukum harus membantu dalam hal perlindungan kepada wartawan saat menjalankan tugasnya.

Dimana, tidak lagi melakukan tindakan kekerasan dikarekan tidak senang dengan suatu pemberitaan. Kepolisian selain menggunakan pasal 351 atau serupa dalam KUHP, tentang Penganiayaan dalam menjerat pelaku kekerasan terhadap wartawan. Harus juga menyertakan UU No 40/1999 tentang Pers pasal 18. Dikarenakan, korban adalah wartawan yang sedang melaksanakan peliputan (tugas) berita.

Mengenai hukuman terhadap pelaku yang teramat rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera, perlu perhatian dari aparat penegak hukum khususnya Majelis hakim, yang akan menyidangkan perkara tersebut. “Semua permasalahan harus diselesaikan secara hukum. Untuk itu, Majelis hakim yang dapat mempertimbangkan ringan atau beratnya hukuman suatu tindak pidana,” tegasnya.

Sedangakn, Ketua Tim Pemantau Kekerasan Terhadap Wartawan, Anshari Thayib mengatakan, Komnas HAM berjanji akan mengidentifikasi kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan. Dari bukti-bukti yang ada, akan ditindaklanjuti dengan kemungkinan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM. Karena pelaku kekerasan itu telah melanggar hak setiap orang mendapatkan informasi yang dijamin oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia dan konstitusi negara.

"Hak memperoleh informasi adalah hak mendasar. Kita prihatin dengan kekerasan terhadap pers. Ini menggambarkan tidak beradabnya bangsa ini dalam menyelesaikan masalah," ujar Anshari yang juga mantan wartawan itu.

Ketua Dewan Pers Atmakusumah juga mencemaskan aksi kekerasan terhadap jurnalis. Aksi itu, kata dia, membuat upaya pers menyuarakan kebenaran menjadi mengendor. Karena itu dia mengkritik sikap institusi pers yang umumnya menyerah terhadap tekanan dari pelaku-pelaku kekerasan. "Setiap kali terjadi kekerasan, pers umumnya mengalah dengan menganggap itu sudah resiko profesi wartawan," kata Atmakusumah.

Dia menilai, sekarang ini sudah saatnya sikap pers yang mengalah dihentikan. Sebab, bila pers melemah sikapnya, maka akan muncul anggapan bahwa tindak kekerasan terhadap pers bukan pelanggaran hukum. Lalu, upaya meminta maaf bisa diartikan sebagai bentuk kekalahan bagi dunia pers nasional. (8)  simon leo siahaan

0 komentar:

Posting Komentar